berlangganan

pls

Pages

Sabtu, 24 Oktober 2009

Mengenang seorang teman berjemari 12

Hari ini 15 September 2009, kakak saya yang di Jogja menghubungi saya lewat telephon genggamnya. Kasih kabar bahwa teman masa kecil saya, Widagdo, meninggal dunia, bahkan tidak ada tanda-tanda sakit. Memang semenjak di tinggal mati Mak Nyai (neneknya biasa dipanggil dengan sebutan itu), dia limbung seperti tanpa pegangan hidup karena selama ini diasuh oleh nenek, baru beberapa waktu penyesuaian diri dengan orang tua kandungnya, Ibunya meninggal dunia, sekali lagi dia syok berat. Kehilangan segala-galanya.
Cukup banyak kenangan dan kisah pilu atas anak ini, Widagdo. Berawal dari kisah tangan berjari 12. Terlahir dengan “kelebihan” jemari 12 jari-jari, Widagdo salah satu anak cerdas di Sekaloh kami.

Anak orang kaya
Keluarganya termasuk orang kaya, terpandang dan sangat berpengaruh di daerah kami. Ibunya termasuk kalangan atas, hingga suatu ketika, Ibunya mengambil keputusan yang sangat mempengaruhi hidupnya, dengan mengirimkannya ke Rumah Sakit untuk proses amputasi, kelihatannya Beliau cukup risi dan malu jika anaknya memiliki “kelebihan” tersebut.

Segalanya bisa diatur dengan uang, begitulah kira-kira pikir kami, dengan mengirim Widagdo ke Rumah Sakit lalu di amputasi kelebihan Jemarinya, sudah selesai masalah. Sudah tidak ada rasa risi maupun malu lagi. Tapi Allah memiliki kehendak lain.

Hari-hari pertama setelah operasi, kami sekelas membesuk Widagdo di Rumah cukup besar di daerah. Tampak tidak ada masalah, semuanya baik-baik saja.
Awalnya berjalan normal, selang beberapa hari kemudian terjadilah sesuatu yang sangat disesalkan seumur hidup, si anak demam tinggi, kemudian terjadi step dan......meski jiwa tertolong, tetapi saraf si anak tidak tertolong. Hari-hari dilalui dengan sangat berat, karena si anak tiba-tiba tidak bisa bicara normal, ngomongnya gagap, perkembangan psikologi tidak sesuai umurnya. Tidak bisa mandi sendiri, tidak bisa memakai baju sendiri. Tidak bisa naik sepeda lagi seperti dulu. Keceriaan masa kecil hilang.
Saya masih ingat, dulu sebelum diamputasi, dia termasuk anak cerdas, karena meski baru kelas TK kecil tetapi sudah lancar membaca dan menulis, wong saya saja baru bisa lancar membaca dan menulis saat menginjak kelas 2 SD. Seiring berjalannya waktu, karena di Sekolah umum (SD) sudah tidak sanggup mengikuti pelajaran, hingga terpaksa harus dimasukkan ke SLB di kota kami., akhirnya kami jarang bertemu, hanya beberapa hari sekali.
Kisah sendawa, makna sebuah konsistensi
Ada kisah cukup menarik, yang bisa kami ambil hikmah, yakbi betapa Widagdo alm. seorang yang amat konsisten dengan apa yang dia yakini, salah satunya adalah mengenai pola makan yang mengikuti cara makan Rosululloh, seperti makanlah apabila kalian lapar, berhentilah sebelum kenyang. Di lain kisah diriwayatkan bahwa Rosululloh akan berhenti makan jika sudah bersendawa. Nah ini sangat ketat diterapkan oleh seorang Widagdo. Bahkan jika baru 4-5 suap nasi, tetapi sudah bersendawa, maka dia akan berhenti makan.
Suatu ketika, dia masih di SLB, saya kelas 1 SMA, saya ajak dia main ke rumah. Pas waktu makan siang, Ibu saya mengajak kami makan siang. Nasi dan lauk sudah disiapkan oleh Ibu saya, Saya dan Widagdo baru bersiap-siap makan, tiba-tiba datang kakak saya, seorang yang agak nakal dan usil.
Saya tidak menaruh curiga sedikitpun, saat kami baru mulai makan dan bersuap 1 – 2 kali suapan. Kakak saya menunduk membelakangi Widagdo, tepat di punggung Widagdo, kakak saya mengeluarkan suara “Eeergh.........” persis suara orang bersendawa. Saat itu juga kami kaget, karena Widagdo berhenti makan, sendok garpunya ditaruh dipinggir piring kemudian minum air putih yang sudah disediakan Ibu saya.
“Hlo, kok makannya berhenti, ndung?” begitu panggilan kesayangan Ibu kepada anak-anaknya termasuk kepada Widagdo
“Bu Wok, saya sudah bersendawa, jadi menurut Nabi Muhammad, makan harus berhenti”
Di belakang, suara cekikikan puas kakak saya terdengar, tahu masalah yang sebenarnya, akhirnya Ibu saya marah besar.

Demikian sekelumit mengenang Widagdo, teman kecil saya, semoga engkau tenag di alam sana, amin...............

Ditulis oleh Wasit Abu Ali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Follower

Tentang saya

Foto saya
Ungaran, Kabupaten Semarang, Indonesia

Foto Produk

Foto Produk
produk lainnya: Bantal Dacron

Cari Blog Ini