berlangganan

pls

Pages

Jumat, 02 Oktober 2009

Mengenang Ibunda

“Korban TRIS”
Popor senjata laras panjang milik oknum tentara itu mengenai wajah Hajah Hindun hingga membuat lebam hitam membekas di pelipis sebelah mata kirinya. Hajah Hindun, seorang Ibu perkasa, yang telah membesarkan kesepuluh anak-anaknya tanpa pendamping hidup sepeninggal Suaminya tatkala semua anak-anaknya masih perlu bimbingan, karena sebagian anak-anaknya masih menyelesaikan kuliahnya dan sebagian lagi masih di bangku Sekolah Menengah.
Hajah Hindun berdiri dengan mata menatap nanar seperti menahan seribu amarah dan menahan sejuta emosi, Dia tegak bersikap bagai seorang pahlawan perang yang berani mati mempertaruhkan nyawa demi mempertahankan Negara atau keyakinannya. Dengan lantang dan tegas, menolak untuk menandatangani kesediaan teken kontrak menyewakan sawah produktifnya oleh pabrik tebu dalam program TRIS (Tebu rakyat intensifikasi) di masa Orde Baru.
Semua petani pemilik lahan yang hadir pada terperangah dengan keberanian menolak menjalankan program pemerintah pada waktu itu, dimana apapun jika tidak sepaham dengan penguasa maka akibatnya “diciduk”. Beberapa oknum tentara dengan wajah dibuat sangar awalnya mau menghampiri Hajah Hindun pada saat itu, mereka pikir, ada slilit atau duri yang harus disingkirkan, tiba-tiba ada salah seorang pejabat pemerintah ditingkat kecamatan yang melerai kejadian itu, hajah Hindun dibawa masuk ke suatu ruang khusus diikuti oleh beberapa Tentara berlaras panjang. Semua orang yang hadir di kantor kecamatan itu sempat terjadi keributan kecil tapi dapat diredam oleh tentara yang lainnya, pikir mereka, kasihan.... habislah perempuan tua ini.
Di dalam ruang khusus, Hajah Hindun didudukkan di sebuah kursi seperti laiknya seorang pesakitan, menghadap beberapa pejabat pemerintah yang memaksakan kehendaknya agar sawah milik Hajah Hindun bisa ditanami tebu sesuai program Pemerintah-TRIS. Di tempat itu, meskipun dengan derai airmata, hajah Hindun berbicara dengan lugas dan mantap bahwa semua ini dia lakukan, yakni bukan bermaksud tidak mau mengikuti program pemerintah, maupun bukan berrati tidak bersedia menghormati bapak-bapak pejabat, atau bermaksud memprovokasi orang-orang agar mengikuti kehendak Dia.
Masih dengan bercucuran air mata yang diusap dengan kerudungnya, Hajah Hindun bercerita banyak bahwa Almarhum suaminya berpesan, agar bagaimanapun, anak-anaknya harus mengenyam pendidikan setinggi mungkin dengan cara apapun yang penting halal. Hajah Hindun ingin anak-anaknya seperti halnya anak-anak pejabat maupun bapak-bapak tentara yang bisa bersekolah sebaik mungkin and setinggi mungkin. Sawah-sawah itu adalah satu-satunya sumber penghasilan keluarga Hajah Hindun sehingga jika harus ditanami tebu yang kontraknya bertahun-tahun dan hasilnya belum tentu bagus, maka penghasilan harian, mingguan, bulanan maupun tahunan tidak ada lagi. Penghasilan harian adalah jika sawah itu ditanami sayur-mayur maka dapat dipetik harian, ataupun secara mingguan dengan ditanami pohon pisang yang dapat diunduh secara berkala, maupun bulanan dengan ditanami padi atau jagung atau palawija yang lain.
Akhirnya dengan segala daya upaya, dan argumentasi yang menyentuh hati pejabat pemerintah saat itu, akhirnya mereka luluh, dengan syarat bahwa hajah Hindun tidak boleh bicara kepada siapapun, kalau khusus sawah-sawahnya tidak akan di tanamai tebu-TRIS. “Maha besar Engkau ya Allah”, demikian hajah Hindun panjatkan puji syukur dengan sangat terharu sambil sujud syukur di hadapan mereka.
Kisah ini, untuk mengenang setahun kepergian Beliau yang telah membesarkan ke sepuluh putra-putrinya sehingga dapat meraih pendidikan tingginya dan menapaki hidupnya masing-masing. Saya tulis ini sebagai ungkapan kebanggan kepada beliau yang telah bersusah payah mempertahankan Haknya demi pendidikan anak-anaknya.
Sungguh, saya tulis kisah ini dengan linangan airmata kerinduan akan jasa-jasa beliau yang sangat besar, semoga beliau hidup tenang di alam sana bersama dengan Al hafidz H. Ahmad Ruslani-Alm, suami tercinta.
Hajah Hindun atau nama lainnya Hajah Sujinah adalah Ibunda kami, seorang perempuan yang telah dengan setia mengabdi kepada suaminya sampai akhir hayatnya.
Ungaran, Ramadhan 1430H

1 komentar:

  1. Tiada kata yang tepat untuk menggambarkan sosok seorang ibu, sebagaimana dilukiskan di atas. Seorang perempuan sederhana, namun memiliki kegigihan yang luar biasa. Beliau abdikan hidupnya untuk beribadah, mendidik sepuluh putra-putrinya hingga kesemuanya menjadi orang. Subhanallah !

    BalasHapus

Follower

Tentang saya

Foto saya
Ungaran, Kabupaten Semarang, Indonesia

Foto Produk

Foto Produk
produk lainnya: Bantal Dacron

Cari Blog Ini