berlangganan

pls

Pages

Sabtu, 24 Oktober 2009

OPEL CAPITAIN Th 1958

Mobil antik itu masih terawat dengan sangat baik, meski usianya sudah setengah abad lebih. Menurut Ibu kami, dulu sewaktu beliau masih hidup, beliau bilang kalau mobil tersebut adalah hadiah ulang tahun pernikahannya dari mbah kakung kami, salah seorang tuan tanah di kota kecil Pemalang.
Banyak cerita yang mengiringi perjalanan mobil tersebut, mobil dengan body khas keluaran jadul, moncong seperti hidung besar karena mesin ber-CC besar, lekukan-lekukan body yang seksi nan molek di setiap sudutnya membuat mobil itu terlihat sangat anggun dan mewah. Dengan interior yang cukup mewah pada masanya, semua jok kursi terbuat dari bahan kulit bermutu tinggi.
Photo hitam putih hasil cropingan berfigura kuningan, masih kami pasang di ruang besar rumah peninggalan keluarga kami, meski mobil tersebut hadiah ulang tahun untuk ibu kami, tetapi kesehariannya dulu mbah kakung kami yang sering pakai. Di dalam photo tersebut nampak mbah kakung, yang memang berperawakan tinggi besar, kelihatan sangat gagah dengan sarung kotak-kotak, Jas Kuning Gading dan Peci kebesaranya.
Ada satu cerita mengenai mobil antik ini, tatkala seorang Bupati pada saat , berkunjung ke desa kami untuk meresmikan Masjid Jami di desa kami, rombongan datang dengan mobil Datsun, kiranya lihat mobil mewah dari Eropa, mereka penasaran ingin mencoba, sang Bupati masuk ke kabin stir dan mulai mestarter dan lagi dan lagi tetapi tidak menyala juga, baru setelah mbah kakung menyalakan satu kali saja, mesin langsung on. Terus ketika mobil masih menyala dan Pak bupati masuk ke kabin lagi untuk mencoba mengemudikan, mesin mobil langsung mati, terus berulang-ulang.
Memang, Ibu kami pernah bilang kalau Mobil tersebut seperti punya nyawa, tidak sembarang orang bisa pakai dan katanya lagi, dijaga oleh Qodamnya mbah kami, entahlah.

Sedan Opel Capitain itu, saksi bisu sejarah kesuksesan sang juragan tanah, yang tak lain adalah mbah kami. Meski seorang saudagar kaya pada jamannya, tetapi sifat sosialnya diakui semua orang pada masa itu. Hanya saja ada satu sifat yang menurut banyak orang adalah senang makan enak Menurut Ibu kami, setiap kali makan, baik ketika sarapan pagi, makan siang maupun makan malam. Menu harus baru, tidak boleh ada sisa makanan waktu sebelumnya yang dihangatkan apalagi tidak dihangatkan. Meja makan besar yang terbuat dari jati tua berukuran 2 X 3.5 meter, setiap jam makan tiba selalu penuh dengan berbagai macam jenis hidangan, dari masakan berporsi besar masakan daging Kerbau, Satu ingkung bakar, Satu porsi telur pecak sambel, Seporsi sotong kuah hitam kental, bermacam-macam ikan darat seperti wader dari Sungai comal dan ikan “dheleg” goreng garing, sampai 3-4 jenis sayuran pendukung.
Mbah kakung, jika sedang makan tidak bersedia ditemani siapapun termasuk anak-anak dan istri-istrinya. Baru setelah mbah kakung selesai dhahar, giliran anak-anak dan istri-istrinya makan bersama. Pola makan seperti ini, disinyalir yang menjadikan banyak penyakit bersarang di tubuh mbah kakung, tetapi semua anak dan istri-istrinya tidak ada yang berani ataupun mungkin belum mengerti nilai kesehatan berhubungan dengan pola makan.

Pola makan semacam ini berlangsung cukup lama, sampai pada suatu ketika segalanya runtuh, dan hancur berantakan.

Mbah kami dikenal sebagai saudagar tanah sekaligus petani dan pedagang sukses, karena pandai membaca alam, kapan waktu harus mulai tanam, bagaimana membuat bibit padi unggulan, cara meramu obat pembasmi hama, kapan harus dipanen dan yang lebih hebat adalah kapan gabah tersebut harus dijual dan kemana daerah yang harga gabah masih tinggi.

Ada kisah mengenai cara merawat tanaman padi sehingga tidak diserang hama tikus, meski teman-teman saudagar tanah di daerah lain mencoba hal yang sama tetapi mereka tidak berhasil. Cara ini sangat efektif karena tidak ada satupun tikus yang berani mendekat. Kelihatannya tidak berperikehewanan karena harus mengumpulkan darah tikus secukupnya, kemudian darah yang sudah dikasih mantra tertentu dicipratkan di pojok-pojok pematang sawah. Hasilnya, tidak ada tikus yang berani mendekat.

Gabah-gabah kering disimpan di Gudang-gudang, sistem pemetikan padi saat itu, adalah dipetik dengan alat yang disebut ani-ani, padi yang dipetik sekalian gagangnya kemudian disatukan dan diikat dengan “welad” dari bambu dan digantungkan di bambu-bambu yang sudah di pasang sejajar di dalam gudang-gudang. Cara ini diyakini dapat bertahan lebih lama dibandingkan dengan padi yang dirontokkan dengan di gepyok (dilepas dari gagangnya). Hanya saja, dari segi efisiensi jauh lebih efisien dengan dirontokkan.

Dari hasil pengelolaan yang sistematis ini, didukung oleh petani-petani penggarap yang loyal. Sawah dan tanah beliau berkembang sangat cepat dan bertambah luas. Estimasi luas penguasaan sawah produktif lebih dari 350 Hektar, luas yang sangat menakjubkan. Oh ya, Sawah produktif kalau di daerah kami di bagi kedalam kriteria, lak Primer , maksudnya adalah pengairan bersumber dari Sungai utama yakni Sungai Comal, padahal Sungai ini dalam sejarah belum pernah kering sepanjang masa, kemudian lak Sekunder, Sawah di area ini nilai jualnya agak rendah dibandingkan Lak Comal, karena pengairan dari saluran ini merupakan cabang aliran dari Sungai Comal. Tentunya dengan sawah seluas itu, sangat repot dalam pengelolaannya, sehingga beliau mempercayakan beberapa orang untuk dijadikan mandor.

Tahun berdarah-darah
Tahun 1968 adalah tahun dimana nasib sebagian petani pemilik sawah yang mana telah berjuang sekuat tenaga, dengan keringat bercucuran, memeras otak bahkan mungkin harus bermandikan darah, tahun itu tahun ketidakberpihakan Pemerintah terhadap rakyatnya sendiri. Tahun kehancuran petani-petani pribumi, yang dengan sudah payah bekerja tetapi telah dikebiri oleh Pemerintah. Peraturan Perundangan yang mengatur batas kepemilikan sawah maksimal sejumlah 25 Hektar, menjadikan petani pemilik sawah di atas jumlah 25 Hektar merasa syok, stres, dan tidak tahu harus bagaimana.
Sehingga tidak sedikit yang pasrah menerima nasib ini. Termasuk mbah kami, meski syok dan stres, tetapi beliau berusaha tegar, dengan mulai menginventarisir semua kekayaannya (sawah) kemudian akan diatasnamakan ke anak-anaknya dan orang kepercayaannya. Namun nasib berkata lain, belum selesai proses inventarisasi ini, beliau keburu dipanggil Yang Maha Hidup, dengan meninggalkan kesemrawutan proses itu, sehingga belum sempat diatasnamakan kepada anak-anaknya, Sawah-sawah sebanyak itu dibuat sebagai “bancakan” oleh orang-orang yang dulu dipercaya untuk mengelola dan adik-adiknya. Mereka menikmati hasil garapan atau sewa tanpa bisa mengelola lagi, mereka hidup berfoya-foya dengan menjual sawah, sehingga dengan cepat sawah-sawah hasil “rampokan” terjual habis dengan sia-sia.
Mereka, meskipun ada beberapa adik kandung dari mbah kakung kami, tetapi kami melihat mereka adalah para perampok dan pemakan harta anak yatim, sehingga Allah harus menurunkan adzabnya. Bagaimanapun, semua sudah terjadi, Semoga Allah mengampuni dosa-dosa orang-orang yang bertaubat.

Sekarang, mobil Opel Capitain ini masih sering kami gunakan meski hanya sekadar untuk bernostalgia. Tidak ada rencana untuk dijual meski tidak sedikit yang menawar dengan harga cukup tinggi


Pemalang, Ramadhan 1430H

Oleh Wasit Abu Ali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Follower

Tentang saya

Foto saya
Ungaran, Kabupaten Semarang, Indonesia

Foto Produk

Foto Produk
produk lainnya: Bantal Dacron

Cari Blog Ini