berlangganan

pls

Pages

Sabtu, 24 Oktober 2009

Perjuangan hidup menembus batas Gender, Studi Kasus-Dampak Industrialisasi

Oleh Wasit Abu Ali

Seiring dengan berkembangnya industri padat karya seperti Industri produk tekstil (garments) yang mana lebih banyak mempekerjakan tenaga-tenaga wanita sebagai tenaga operatornya, menjadikan ketimpangan antara penyerapan tenaga laki-laki dan wanita kurang berimbang. Banyak alasan kenapa perusahaan lebih memilih tenaga wanita untuk Industri Garment ketimbang tenaga laki-laki. Beberapa alasan dilontarkan seperti perempuan lebih teliti, lebih tekun, lebih fokus dan alasan lain-lain. Dari kenyataan yang ada bahwa Industri garments menggunakan lebih 80% pekerjanya adalah wanita, alasan bahwa wanita memiliki kelebihan ini dan itu dibanding laki-laki sebenarnya adalah terlalu mengada-ada.
Adalah tenaga perempuan lebih mudah diatur dibanding laki-laki. Manajemen tidak mau ambil resiko dengan mengambil sebagian besar tenaga operatornya dari tenaga laki-laki, dan hal ini sebagai sebuah alat pengamanan jalannya produksi. Kepraktisan yang diambil oleh dunia industri adalah sebuah tuntutan yang realistis karena manajemen tidak mau ada “penghalang” jalannya produksi, apalagi saat ini Pengusaha dituntut oleh pelanggannya harus serba cepat, tepat dan jaminan kualitas. Itu saja.
Kultur masyarakat yang menyatakan bahwa laki-laki adalah pencari nafkah utama nampaknya telah mulai terkikis dengan berkembangnya industri padat karya ini. Beberapa dekade yang lalu, wanita ditempatkan sebagai Ibu rumah tangga saja, Ayah sebagai pencari nafkah tunggal dan seorang Ibu tinggal di rumah mengasuh dan membesarkan anak-anaknya. Sejalan dengan bergeraknya waktu, genderang emansipasi wanita terus diagung-agungkan. Dan sekarang adalah buah yang harus dipetik dengan konsekuensi yang cukup berat. Karena tuntutan pekerjaan yang harus dijalankan, Para wanita bekerja dari pagi sampai sore bahkan harus melakukan pekerjaan tambahan (lembur) sampai malam.

Pilihan hidup
Tuntutan pekerjaan ini tidak dapat ditampik karena kondisi pesanan (order) dari perusahaan tempat mereka bekerja mengharuskan menyelesaikan pekerjaan sesuai target. Tuntutan pekerjaan ini akhirnya menjadi sebuah pilihan hidup yang harus dilakoni karena keterpaksaan dengan keadaan yang ada. Terus kalau sudah begini, siapa yang harus disalahkan?.
Tidak etis apabila keadaan ini dibebankan hanya kepada Pemerintah saja. Akan tetapi tidak ada salahnya apabila Pemerintah selalu diingatkan agar keadaan seperti ini berangsur-angsur membaik. Masukan-masukan positif harus terus disampaikan melalui kritik-kritik yang membangun. Karena pemerintah pun tidak mau konsekuensi dari keadaan ini timbul, meski bukan jaminan bahwa Seorang Ibu yang hanya Ibu Rumah tangga akan menjadikan anak-anaknya lebih terdidik dibanding dengan seorang Ibu yang bekerja di luar rumah.
Meskipun penelitian secara empiris belum banyak dilakukan, akan tetapi tidak dipungkiri bahwa kenakalan remaja sekarang ini relatif lebih meluas terjadi di lingkungan Industri dimana lebih banyak Ibu-ibu yang bekerja di luar lebih lama dibandingkan dengan Ibu-ibu yang bekerja di Rumah.
Dengan konsekuensi ini, meski merasa kecut, siapa saja akan mahfum, tanpa dapat memberi solusi yang memberikan kepastian.
Sejauh mana peran pemerintah dalam menyikapi semua kondisi diatas. Sejauh ini pemberdayaan masyarakat lebih banyak diarahkan kepada bagaimana meningkatkan kesejahteraan rumah tangga. Dan targetnya berkecenderungan kepada Wanita. Di Negara ini belum ada departemen yang mengkhususkan pada pemberdayaan Laki-laki, karena yang ada adalah Departemen Pemberdayaan wanita. Padahal semakin tahun, lebih banyak terserap tenaga perempuan dibandingkan dengan tenaga laki-laki. Untuk itu perlu sesegera mungkin ada perhatian khusus atas kondisi ini dengan memetakan permasalahan yang ada dan mencari jalan keluarnya.
Meskipun bukan sepenuhnya tanggung jawab Perusahaan, adalah bagaimana Perusahaan yang lebih banyak mempekerjakan tenaganya dengan tenaga wanita mensikapi hal ini. Bukan bermaksud melecehkan arti suami-suami para pekerja, fenomena suami para pekerja wanita yang beralih fungsi sebagai bapak Rumah Tangga, sebenarnya bukanlah menjadi harapan mereka, dan secara jujur mereka merasa hal ini adalah “pelecehan kodrat” dan itu bukan kehendak mereka serta jika harus memilih, hal tersebut bukan pilihannya.
Akhirnya kembali kepada pilihan hidup, akankah mereka tergerus zaman secara terus-menerus, atau ada keajaiban sehingga nasib akan berubah.

Oleh Wasit Abu Ali
Bekerja di PT Ungaran Sari Garments
Aktif di Serikat Pekerja Nasional (SPN).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Follower

Tentang saya

Foto saya
Ungaran, Kabupaten Semarang, Indonesia

Foto Produk

Foto Produk
produk lainnya: Bantal Dacron

Cari Blog Ini