berlangganan

pls

Pages

Sabtu, 24 Oktober 2009

Perjuangan hidup menembus batas Gender, Studi Kasus-Dampak Industrialisasi

Oleh Wasit Abu Ali

Seiring dengan berkembangnya industri padat karya seperti Industri produk tekstil (garments) yang mana lebih banyak mempekerjakan tenaga-tenaga wanita sebagai tenaga operatornya, menjadikan ketimpangan antara penyerapan tenaga laki-laki dan wanita kurang berimbang. Banyak alasan kenapa perusahaan lebih memilih tenaga wanita untuk Industri Garment ketimbang tenaga laki-laki. Beberapa alasan dilontarkan seperti perempuan lebih teliti, lebih tekun, lebih fokus dan alasan lain-lain. Dari kenyataan yang ada bahwa Industri garments menggunakan lebih 80% pekerjanya adalah wanita, alasan bahwa wanita memiliki kelebihan ini dan itu dibanding laki-laki sebenarnya adalah terlalu mengada-ada.
Adalah tenaga perempuan lebih mudah diatur dibanding laki-laki. Manajemen tidak mau ambil resiko dengan mengambil sebagian besar tenaga operatornya dari tenaga laki-laki, dan hal ini sebagai sebuah alat pengamanan jalannya produksi. Kepraktisan yang diambil oleh dunia industri adalah sebuah tuntutan yang realistis karena manajemen tidak mau ada “penghalang” jalannya produksi, apalagi saat ini Pengusaha dituntut oleh pelanggannya harus serba cepat, tepat dan jaminan kualitas. Itu saja.
Kultur masyarakat yang menyatakan bahwa laki-laki adalah pencari nafkah utama nampaknya telah mulai terkikis dengan berkembangnya industri padat karya ini. Beberapa dekade yang lalu, wanita ditempatkan sebagai Ibu rumah tangga saja, Ayah sebagai pencari nafkah tunggal dan seorang Ibu tinggal di rumah mengasuh dan membesarkan anak-anaknya. Sejalan dengan bergeraknya waktu, genderang emansipasi wanita terus diagung-agungkan. Dan sekarang adalah buah yang harus dipetik dengan konsekuensi yang cukup berat. Karena tuntutan pekerjaan yang harus dijalankan, Para wanita bekerja dari pagi sampai sore bahkan harus melakukan pekerjaan tambahan (lembur) sampai malam.

Pilihan hidup
Tuntutan pekerjaan ini tidak dapat ditampik karena kondisi pesanan (order) dari perusahaan tempat mereka bekerja mengharuskan menyelesaikan pekerjaan sesuai target. Tuntutan pekerjaan ini akhirnya menjadi sebuah pilihan hidup yang harus dilakoni karena keterpaksaan dengan keadaan yang ada. Terus kalau sudah begini, siapa yang harus disalahkan?.
Tidak etis apabila keadaan ini dibebankan hanya kepada Pemerintah saja. Akan tetapi tidak ada salahnya apabila Pemerintah selalu diingatkan agar keadaan seperti ini berangsur-angsur membaik. Masukan-masukan positif harus terus disampaikan melalui kritik-kritik yang membangun. Karena pemerintah pun tidak mau konsekuensi dari keadaan ini timbul, meski bukan jaminan bahwa Seorang Ibu yang hanya Ibu Rumah tangga akan menjadikan anak-anaknya lebih terdidik dibanding dengan seorang Ibu yang bekerja di luar rumah.
Meskipun penelitian secara empiris belum banyak dilakukan, akan tetapi tidak dipungkiri bahwa kenakalan remaja sekarang ini relatif lebih meluas terjadi di lingkungan Industri dimana lebih banyak Ibu-ibu yang bekerja di luar lebih lama dibandingkan dengan Ibu-ibu yang bekerja di Rumah.
Dengan konsekuensi ini, meski merasa kecut, siapa saja akan mahfum, tanpa dapat memberi solusi yang memberikan kepastian.
Sejauh mana peran pemerintah dalam menyikapi semua kondisi diatas. Sejauh ini pemberdayaan masyarakat lebih banyak diarahkan kepada bagaimana meningkatkan kesejahteraan rumah tangga. Dan targetnya berkecenderungan kepada Wanita. Di Negara ini belum ada departemen yang mengkhususkan pada pemberdayaan Laki-laki, karena yang ada adalah Departemen Pemberdayaan wanita. Padahal semakin tahun, lebih banyak terserap tenaga perempuan dibandingkan dengan tenaga laki-laki. Untuk itu perlu sesegera mungkin ada perhatian khusus atas kondisi ini dengan memetakan permasalahan yang ada dan mencari jalan keluarnya.
Meskipun bukan sepenuhnya tanggung jawab Perusahaan, adalah bagaimana Perusahaan yang lebih banyak mempekerjakan tenaganya dengan tenaga wanita mensikapi hal ini. Bukan bermaksud melecehkan arti suami-suami para pekerja, fenomena suami para pekerja wanita yang beralih fungsi sebagai bapak Rumah Tangga, sebenarnya bukanlah menjadi harapan mereka, dan secara jujur mereka merasa hal ini adalah “pelecehan kodrat” dan itu bukan kehendak mereka serta jika harus memilih, hal tersebut bukan pilihannya.
Akhirnya kembali kepada pilihan hidup, akankah mereka tergerus zaman secara terus-menerus, atau ada keajaiban sehingga nasib akan berubah.

Oleh Wasit Abu Ali
Bekerja di PT Ungaran Sari Garments
Aktif di Serikat Pekerja Nasional (SPN).

Kreatif memanfaatkan peluang bisnis di antara himpitan Industri Padat Karya

(Tips usaha bagi Ex-Karyawan yang terkena PHK)


Akhir-ahir ini kita sering mendengar cukup banyak industri berbasis tekstil yang mengurangi karyawannya dikarenakan merosotnya pesanan dari pembeli, bahkan ada industri tekstil yang ujug-ujug mem-PHK seluruh karyawannya dengan alasan tidak mampu membeli bahan baku, sehingga dengan terpaksa menutup usahanya.
Di lain sisi, tumbuh pesat industri garments di kantong-kantong industri di Wilayah Jawa Tengah. Baik perusahaan garments pindahan dari wilayah Jakarta maupun pindahan dari kota yang memiliki UMK tinggi, juga pengembangan unit-unit baru perusahaan garments dari yang sudah eksis lebih dulu. Meskipun sama-sama pada tingkatan industri sandang, akan tetapi tampaknya industri tekstil kita kalah bersaing dengan industri tekstil dari Negara China, terutama dalam hal harga. Baik industri tekstil maupun industri garments, keduanya merupakan industri padat karya. karena industri ini menyerap relatif lebih banyak tenaga kerja dibandingkan dengan industri padat modal.
Dua sisi perbedaan diatas, tampaknya merupakan sesuatu hal yang ironis tetapi dapat juga ditarik benang merah apabila dapat memanfaatkan peluang di dalamnya. Hal ini kami sampaikan mengingat pada sebagian orang yang terkena PHK larut dalam kesedihan, bingung mau berbuat apa, sementara kebutuhan hidup semakin tinggi saja.

Ada beberapa saran berkenaan dengan kondisi ini, orang-orang yang terkena PHK akan lebih sensitif dan harus diberikan motivasi dan solusi yang tepat, karena salah-salah dapat menjadikan mereka malahan tersinggung. Meskipun secara umum peluang dengan adanya industri garments seakan tertutup bagi mereka tetapi masih banyak yang dapat dikerjakan dan dikembangkan.

Membuat daftar jenis peluang-peluang bisnis
Banyaknya industri garments yang berbasis padat karya dan kebanyakan tenaga wanita. Memberikan banyak peluang bisnis yang dapat dikerjakan, seperti Mendirikan kost-kost-an, rumah makan, usaha angkutan dll. Hanya saja bisnis yang disebutkan tadi kiranya hanya terjangkau oleh para pemodal besar.
Bagi yang bermodal sedang dan kecil, cukup banyak peluang yang bisa dikelola, dan perlu dibuatkan daftar semisal yang berhubungan dengan kewanitaan seperti : buka salon, perawatan kesehatan, jual kosmetik, jual baju seragam, jual alat sholat/kerudung, kaos dengan tulisan dan printing tertentu, jual sepatu, buat sepatu, terima jahitan, jual jamu khusus wanita, handphone dan voucher, jual minyak wangi, aksesoris wanita, jual emas, kredit emas, pijat kesehatan, cuci baju, catering, jual bunga, jual tas, jual dompet, jual buku bacaan, majalah wanita, jual es buah dengan diberi keterangan melangsingkan badan, buka usaha senam dan masih banyak jenis usaha lain.
Apabila sudah mendapatkan pilihan usaha yang cocok dan mantap dengan apa yang akan dijalankan. Langkah berikutnya adalah melakukan survey tempat dan kapan waktu yang tepat untuk berusaha, karena dibeberapa industri garments, dengan padatnya jam kerja, waktu bagi mereka adalah sangat berharga, sehingga kesempatan waktu sedikit di pagi hari sebelum masuk kerja, mereka manfaatkan sebaik mungkin untuk keperluan pribadi/keluarganya.
Karakter industri garments juga mesti dipelajari sebagai sebuah peluang, seperti Istirahat siang, akan tetapi kebanyakan karyawan garments makan di kantin yang sudah disediakan oleh Perusahaan. Jam istirahat kedua/sore lebih banyak karyawan keluar untuk makan atau sekedar jajan karena akan melanjutkan pekerjaan lagi sampai malam.
Jadwal gajian dari beberapa Perusahaan pun harus tahu, baik yang bulanan maupun mingguan. Dan yang penting lagi perlu masuk kedalam komunitas pedagang yang sudah berpengalaman akan hal ini.
Modal dari mana?
Pertanyaan ini kerap dilontarkan oleh orang yang belum mulai usaha, kebanyakan mereka syndrom dengan keadaan ini. Sebenarnya tidak perlu khawatir, karena Pemerintah saat ini banyak menggelontorkan skema-skema pinjaman dengan bunga rendah. Kita bisa memnfaatkan kesempatan ini. Kemudian saatnya memulai, modal utama yang lain adalah JANGAN MALU, nekad saja, bismillah!
Jika sudah mulai berjalan, saatnya mulai berfikir untuk menancapkan kuku, selalu waspada, mengikuti perkembangan informasi pasar. Saran terakhir adalah pastikan menjual barang dengan harga kompetitif, tidak mesti harus untung besar, sedikit demi sedikit lama-lama menjadi banyak. Selalu memberikan pelayanan yang memuaskan (ikhlas dari hati ), dan yang terkahir sekali tetap pertahankan kualitas, ngomong apa proporsional atas produk yang dijual
Semoga bermanfaat.

Ditulis oleh Wasit Abu Ali
Aktif di Serikat Pekerja Nasional

SANG PUSARA

Vespa biru muda buatan tahun 1967 itu selalu setia mendampingi kemana perginya Haji Amri. Ada sesuatu yang sangat berkesan setiap saya cerita kepada anak saya, Abdul Muis, mengenai Vespa ini. Yakni ketika Haji Amri mengurangi gigi persnelingnya dari gigi tiga ke dua kemudian ke gigi satu, menuruni jalan menurun menuju salah satu sawah di dusun Tempuan, suara khas knalpot vespa itu masih terus termemori dan terpatri dalam benak saya, “ Dheng.....dheng....dheng.....dheng” sampai suara itu hilang pelan-pelan.

Sawah yang ada di dusun Tempuan adalah salah satu sawah terbaik yang dimiliki Haji Amri, karena daerah tersebut sangat subur, dikelilingi sungai-sungai yang menyatu dengan cabang Sungai Comal, salah satu Sungai besar di Pulau Jawa.

Saya tidak tahu kenapa hampir tiap sore Haji Amri selalu mengajak anak-anaknya ke Sawah yang ada di Dusun Tempuan itu. Dusun Tempuan adalah salah satu dusun terjauh di salah satu desa di daerah Pemalang, salah satu kota Kabupaten di Jawa Tengah. Tempuan berati tanah harapan, karena di tanah itu orang-orang berharap dapat kembali ke haribaan Ilahi dengan nama yang baik, khusnul khotimah. Pekuburan di dusun Tempuan, dulunya tidak ada perkampungan seramai sekarang. Seiring dengan ramainya di waktu-waktu tertentu, dimana manusia berduyun-duyun untuk nyekar kepada leluhurnya.

Sekarang setelah hampir 30 tahun sepeninggal beliau, setiap kami pulang kampung untuk nyekar ke makam beliau dan disamping beliau juga bersandar jasad Ibunda kami. Kenangan indah itu selalu muncul.
Sebelum melewati jembatan menuju pemakaman kedua orang tua kami, setengah km dari sana, kami rapatkan mobil ke pinggir jalan, berhenti sejenak. Saya menerawang jauh kebelakang, saya duduk di jok belakang, Ayah kami, Haji Amri (singkatan nama dari Ahmad Ruslani), sementara beliau yang memegang kemudi....adik perempuan saya berdiri di kolong vespa belakang kemudi.
Setelah vespa disandarkan, di bawah pohon rindang, kami menyusuri pematang dipinggir-pinggir sawah kami menuju sawah cukup luas yang salah satu tepinya berbatasan dengan makam entah siapa, tetapi ayah kami pernah bercerita kalau makam tersebut adalah makam keluarga belanda, entah...........
Ila hadrotil mustofa sayyidina muhammad, al fatihah....
khususon ila abaina wa ummahatina, Haji Ahmad Ruslani wa Hajah Hindun...Alfatihah....

OPEL CAPITAIN Th 1958

Mobil antik itu masih terawat dengan sangat baik, meski usianya sudah setengah abad lebih. Menurut Ibu kami, dulu sewaktu beliau masih hidup, beliau bilang kalau mobil tersebut adalah hadiah ulang tahun pernikahannya dari mbah kakung kami, salah seorang tuan tanah di kota kecil Pemalang.
Banyak cerita yang mengiringi perjalanan mobil tersebut, mobil dengan body khas keluaran jadul, moncong seperti hidung besar karena mesin ber-CC besar, lekukan-lekukan body yang seksi nan molek di setiap sudutnya membuat mobil itu terlihat sangat anggun dan mewah. Dengan interior yang cukup mewah pada masanya, semua jok kursi terbuat dari bahan kulit bermutu tinggi.
Photo hitam putih hasil cropingan berfigura kuningan, masih kami pasang di ruang besar rumah peninggalan keluarga kami, meski mobil tersebut hadiah ulang tahun untuk ibu kami, tetapi kesehariannya dulu mbah kakung kami yang sering pakai. Di dalam photo tersebut nampak mbah kakung, yang memang berperawakan tinggi besar, kelihatan sangat gagah dengan sarung kotak-kotak, Jas Kuning Gading dan Peci kebesaranya.
Ada satu cerita mengenai mobil antik ini, tatkala seorang Bupati pada saat , berkunjung ke desa kami untuk meresmikan Masjid Jami di desa kami, rombongan datang dengan mobil Datsun, kiranya lihat mobil mewah dari Eropa, mereka penasaran ingin mencoba, sang Bupati masuk ke kabin stir dan mulai mestarter dan lagi dan lagi tetapi tidak menyala juga, baru setelah mbah kakung menyalakan satu kali saja, mesin langsung on. Terus ketika mobil masih menyala dan Pak bupati masuk ke kabin lagi untuk mencoba mengemudikan, mesin mobil langsung mati, terus berulang-ulang.
Memang, Ibu kami pernah bilang kalau Mobil tersebut seperti punya nyawa, tidak sembarang orang bisa pakai dan katanya lagi, dijaga oleh Qodamnya mbah kami, entahlah.

Sedan Opel Capitain itu, saksi bisu sejarah kesuksesan sang juragan tanah, yang tak lain adalah mbah kami. Meski seorang saudagar kaya pada jamannya, tetapi sifat sosialnya diakui semua orang pada masa itu. Hanya saja ada satu sifat yang menurut banyak orang adalah senang makan enak Menurut Ibu kami, setiap kali makan, baik ketika sarapan pagi, makan siang maupun makan malam. Menu harus baru, tidak boleh ada sisa makanan waktu sebelumnya yang dihangatkan apalagi tidak dihangatkan. Meja makan besar yang terbuat dari jati tua berukuran 2 X 3.5 meter, setiap jam makan tiba selalu penuh dengan berbagai macam jenis hidangan, dari masakan berporsi besar masakan daging Kerbau, Satu ingkung bakar, Satu porsi telur pecak sambel, Seporsi sotong kuah hitam kental, bermacam-macam ikan darat seperti wader dari Sungai comal dan ikan “dheleg” goreng garing, sampai 3-4 jenis sayuran pendukung.
Mbah kakung, jika sedang makan tidak bersedia ditemani siapapun termasuk anak-anak dan istri-istrinya. Baru setelah mbah kakung selesai dhahar, giliran anak-anak dan istri-istrinya makan bersama. Pola makan seperti ini, disinyalir yang menjadikan banyak penyakit bersarang di tubuh mbah kakung, tetapi semua anak dan istri-istrinya tidak ada yang berani ataupun mungkin belum mengerti nilai kesehatan berhubungan dengan pola makan.

Pola makan semacam ini berlangsung cukup lama, sampai pada suatu ketika segalanya runtuh, dan hancur berantakan.

Mbah kami dikenal sebagai saudagar tanah sekaligus petani dan pedagang sukses, karena pandai membaca alam, kapan waktu harus mulai tanam, bagaimana membuat bibit padi unggulan, cara meramu obat pembasmi hama, kapan harus dipanen dan yang lebih hebat adalah kapan gabah tersebut harus dijual dan kemana daerah yang harga gabah masih tinggi.

Ada kisah mengenai cara merawat tanaman padi sehingga tidak diserang hama tikus, meski teman-teman saudagar tanah di daerah lain mencoba hal yang sama tetapi mereka tidak berhasil. Cara ini sangat efektif karena tidak ada satupun tikus yang berani mendekat. Kelihatannya tidak berperikehewanan karena harus mengumpulkan darah tikus secukupnya, kemudian darah yang sudah dikasih mantra tertentu dicipratkan di pojok-pojok pematang sawah. Hasilnya, tidak ada tikus yang berani mendekat.

Gabah-gabah kering disimpan di Gudang-gudang, sistem pemetikan padi saat itu, adalah dipetik dengan alat yang disebut ani-ani, padi yang dipetik sekalian gagangnya kemudian disatukan dan diikat dengan “welad” dari bambu dan digantungkan di bambu-bambu yang sudah di pasang sejajar di dalam gudang-gudang. Cara ini diyakini dapat bertahan lebih lama dibandingkan dengan padi yang dirontokkan dengan di gepyok (dilepas dari gagangnya). Hanya saja, dari segi efisiensi jauh lebih efisien dengan dirontokkan.

Dari hasil pengelolaan yang sistematis ini, didukung oleh petani-petani penggarap yang loyal. Sawah dan tanah beliau berkembang sangat cepat dan bertambah luas. Estimasi luas penguasaan sawah produktif lebih dari 350 Hektar, luas yang sangat menakjubkan. Oh ya, Sawah produktif kalau di daerah kami di bagi kedalam kriteria, lak Primer , maksudnya adalah pengairan bersumber dari Sungai utama yakni Sungai Comal, padahal Sungai ini dalam sejarah belum pernah kering sepanjang masa, kemudian lak Sekunder, Sawah di area ini nilai jualnya agak rendah dibandingkan Lak Comal, karena pengairan dari saluran ini merupakan cabang aliran dari Sungai Comal. Tentunya dengan sawah seluas itu, sangat repot dalam pengelolaannya, sehingga beliau mempercayakan beberapa orang untuk dijadikan mandor.

Tahun berdarah-darah
Tahun 1968 adalah tahun dimana nasib sebagian petani pemilik sawah yang mana telah berjuang sekuat tenaga, dengan keringat bercucuran, memeras otak bahkan mungkin harus bermandikan darah, tahun itu tahun ketidakberpihakan Pemerintah terhadap rakyatnya sendiri. Tahun kehancuran petani-petani pribumi, yang dengan sudah payah bekerja tetapi telah dikebiri oleh Pemerintah. Peraturan Perundangan yang mengatur batas kepemilikan sawah maksimal sejumlah 25 Hektar, menjadikan petani pemilik sawah di atas jumlah 25 Hektar merasa syok, stres, dan tidak tahu harus bagaimana.
Sehingga tidak sedikit yang pasrah menerima nasib ini. Termasuk mbah kami, meski syok dan stres, tetapi beliau berusaha tegar, dengan mulai menginventarisir semua kekayaannya (sawah) kemudian akan diatasnamakan ke anak-anaknya dan orang kepercayaannya. Namun nasib berkata lain, belum selesai proses inventarisasi ini, beliau keburu dipanggil Yang Maha Hidup, dengan meninggalkan kesemrawutan proses itu, sehingga belum sempat diatasnamakan kepada anak-anaknya, Sawah-sawah sebanyak itu dibuat sebagai “bancakan” oleh orang-orang yang dulu dipercaya untuk mengelola dan adik-adiknya. Mereka menikmati hasil garapan atau sewa tanpa bisa mengelola lagi, mereka hidup berfoya-foya dengan menjual sawah, sehingga dengan cepat sawah-sawah hasil “rampokan” terjual habis dengan sia-sia.
Mereka, meskipun ada beberapa adik kandung dari mbah kakung kami, tetapi kami melihat mereka adalah para perampok dan pemakan harta anak yatim, sehingga Allah harus menurunkan adzabnya. Bagaimanapun, semua sudah terjadi, Semoga Allah mengampuni dosa-dosa orang-orang yang bertaubat.

Sekarang, mobil Opel Capitain ini masih sering kami gunakan meski hanya sekadar untuk bernostalgia. Tidak ada rencana untuk dijual meski tidak sedikit yang menawar dengan harga cukup tinggi


Pemalang, Ramadhan 1430H

Oleh Wasit Abu Ali

Mengenang seorang teman berjemari 12

Hari ini 15 September 2009, kakak saya yang di Jogja menghubungi saya lewat telephon genggamnya. Kasih kabar bahwa teman masa kecil saya, Widagdo, meninggal dunia, bahkan tidak ada tanda-tanda sakit. Memang semenjak di tinggal mati Mak Nyai (neneknya biasa dipanggil dengan sebutan itu), dia limbung seperti tanpa pegangan hidup karena selama ini diasuh oleh nenek, baru beberapa waktu penyesuaian diri dengan orang tua kandungnya, Ibunya meninggal dunia, sekali lagi dia syok berat. Kehilangan segala-galanya.
Cukup banyak kenangan dan kisah pilu atas anak ini, Widagdo. Berawal dari kisah tangan berjari 12. Terlahir dengan “kelebihan” jemari 12 jari-jari, Widagdo salah satu anak cerdas di Sekaloh kami.

Anak orang kaya
Keluarganya termasuk orang kaya, terpandang dan sangat berpengaruh di daerah kami. Ibunya termasuk kalangan atas, hingga suatu ketika, Ibunya mengambil keputusan yang sangat mempengaruhi hidupnya, dengan mengirimkannya ke Rumah Sakit untuk proses amputasi, kelihatannya Beliau cukup risi dan malu jika anaknya memiliki “kelebihan” tersebut.

Segalanya bisa diatur dengan uang, begitulah kira-kira pikir kami, dengan mengirim Widagdo ke Rumah Sakit lalu di amputasi kelebihan Jemarinya, sudah selesai masalah. Sudah tidak ada rasa risi maupun malu lagi. Tapi Allah memiliki kehendak lain.

Hari-hari pertama setelah operasi, kami sekelas membesuk Widagdo di Rumah cukup besar di daerah. Tampak tidak ada masalah, semuanya baik-baik saja.
Awalnya berjalan normal, selang beberapa hari kemudian terjadilah sesuatu yang sangat disesalkan seumur hidup, si anak demam tinggi, kemudian terjadi step dan......meski jiwa tertolong, tetapi saraf si anak tidak tertolong. Hari-hari dilalui dengan sangat berat, karena si anak tiba-tiba tidak bisa bicara normal, ngomongnya gagap, perkembangan psikologi tidak sesuai umurnya. Tidak bisa mandi sendiri, tidak bisa memakai baju sendiri. Tidak bisa naik sepeda lagi seperti dulu. Keceriaan masa kecil hilang.
Saya masih ingat, dulu sebelum diamputasi, dia termasuk anak cerdas, karena meski baru kelas TK kecil tetapi sudah lancar membaca dan menulis, wong saya saja baru bisa lancar membaca dan menulis saat menginjak kelas 2 SD. Seiring berjalannya waktu, karena di Sekolah umum (SD) sudah tidak sanggup mengikuti pelajaran, hingga terpaksa harus dimasukkan ke SLB di kota kami., akhirnya kami jarang bertemu, hanya beberapa hari sekali.
Kisah sendawa, makna sebuah konsistensi
Ada kisah cukup menarik, yang bisa kami ambil hikmah, yakbi betapa Widagdo alm. seorang yang amat konsisten dengan apa yang dia yakini, salah satunya adalah mengenai pola makan yang mengikuti cara makan Rosululloh, seperti makanlah apabila kalian lapar, berhentilah sebelum kenyang. Di lain kisah diriwayatkan bahwa Rosululloh akan berhenti makan jika sudah bersendawa. Nah ini sangat ketat diterapkan oleh seorang Widagdo. Bahkan jika baru 4-5 suap nasi, tetapi sudah bersendawa, maka dia akan berhenti makan.
Suatu ketika, dia masih di SLB, saya kelas 1 SMA, saya ajak dia main ke rumah. Pas waktu makan siang, Ibu saya mengajak kami makan siang. Nasi dan lauk sudah disiapkan oleh Ibu saya, Saya dan Widagdo baru bersiap-siap makan, tiba-tiba datang kakak saya, seorang yang agak nakal dan usil.
Saya tidak menaruh curiga sedikitpun, saat kami baru mulai makan dan bersuap 1 – 2 kali suapan. Kakak saya menunduk membelakangi Widagdo, tepat di punggung Widagdo, kakak saya mengeluarkan suara “Eeergh.........” persis suara orang bersendawa. Saat itu juga kami kaget, karena Widagdo berhenti makan, sendok garpunya ditaruh dipinggir piring kemudian minum air putih yang sudah disediakan Ibu saya.
“Hlo, kok makannya berhenti, ndung?” begitu panggilan kesayangan Ibu kepada anak-anaknya termasuk kepada Widagdo
“Bu Wok, saya sudah bersendawa, jadi menurut Nabi Muhammad, makan harus berhenti”
Di belakang, suara cekikikan puas kakak saya terdengar, tahu masalah yang sebenarnya, akhirnya Ibu saya marah besar.

Demikian sekelumit mengenang Widagdo, teman kecil saya, semoga engkau tenag di alam sana, amin...............

Ditulis oleh Wasit Abu Ali

Ketika kata hati berbicara

(45 Menit, Garuda dari Jakarta ke Semarang)

Saya memiliki pengalaman singkat yang bisa dijadikan pelajaran hidup. Ketika saya melakukan perjalanan pulang dari Jakarta, saya satu deret seat dengan seseorang yang dari cara bicaranya bukan orang sembarangan.
Mungkin karena kekurangpekaan saya sehingga meskipun disamping saya seseorang yang sedang ditimpa “kesripahan” saya tidak bakalan tahu jika beliau tidak mengatakan hal tersebut kepada saya. Saya tidak melihat ada guratan kesedihan pada wajahnya, hanya saja saya merasa ada yang sedikit ganjil, karena bapak ini tidak henti-hentinya bicara dengan perempuan setengah baya, yang awalnya saya kira sebagai kakak atau mungkin ibunya, akan tetapi setelah turun dari pesawat saya baru tahu kalau si Ibu bukan siapa-siapanya seperti halnya saya, sama-sama penumpang satu deret seat.
Saya mencoba memperkenalkan diri kepada beliau yang tampak tegar seperti tidak terjadi apa-apa. Karena beliau lebih banyak berbicara dalam bahasa jawa halus, dengan sopan Saya tanya beliau seputar pertanyaan seperti dari mana, mau kemana, dalam rangka apa, dan seterusnya.
Beliau menjawab kalau baru melakukan perjalanan panjang selama 36 jam dari Inggris ke Jakarta, dia bilang sedang menempuh studi S3 di Inggris, tetapi karena sedang “kesripahan”, dia putuskan pulang tanpa sepengetahuan dosen pembimbingnya disana. Terus saya tanya dengan nada penasaran, siapa yang meninggal, beliau tidak langsung menjawab, beberapa detik sambil menghela napas cukup panjang, dia bercerita kalau istri tercintanya telah 11 tahun terkena penyakit LUPUS, dan kemarin sudah dipanggil Yang Maha Kuasa.
Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun, subhanallah, masya Allah.....
Kalimat yang pertama saya ucapkan secara spontanitas sebagai wujud belasungkawa yang sedalam-dalamnya kepada beliau, karena saya merasa sangat tersentuh betapa sakit penderitaan yang dilalui istri beliau. Maha Suci Allah, karena saya pada saat itu melihat ketabahan seorang suami yang telah ditinggal istri selama-lamanya.
Beliau menyampaikan kepada saya bahwa informasi meninggalnya istri disampaikan keluarganya sehari sebelumnya, akan tetapi karena kasihan dengan jasad istrinya, dengan pertimbangan perjalanan London-Jakarta yang sampai 30 jam lebih. Lewat telepon beliaudengan berat hati agar dikuburkan tanpa harus menunggu beliau. Beliau bertutur bahwa sangat ikhlas atas kepergian istri dan Ibu dari anak-anaknya.
Saya berusaha berbicara sesopan mungkin karena bagaimanapun, saya tahu beliau syok dengan keadaan ini, akan tetapi karena kebesaran jiwanya, seakan tidak tampak diluar, tapi seikhlas apapun saya yakin istri tetap istri, saya bisa merasakan kesedihan yang sangat mendalam tersebut.
Dalam pembicaraan 45 menit tersebut, saya berusaha tetap membesarkan hati beliau dengan mendengarkan apapun yang beliau sampaikan, sesekali saya sok tahu dengan menjawab “oh ya...”, menganggukkan kepala dan seterusnya. Termasuk beliau mengisahkan perjalanan hidup ayahnya seorang intel di jaman Orde baru dan ditempatkan di Rumania, setelah belajar mengenai lebah dan madu, Ayah beliau kembali ke Indonesia mengembangkan lebah madu dan menjadi percontohan di seluruh Indonesia.
Sesungguhnya saya merasa sangat iba dibalik ketegaran beliau pada saat itu. Ketika suara Pilot lewat pengeras suara bahwa perjalanan tinggal 10 menit lagi. Sebagai tanda simpati dan empati, saya sodorkan tangan untuk bersalaman, sambil sekali lagi lagi saya sampaikan dengan hati yang tulus.
“Saya..., hari ini...., meski perjalanan singkat selama 45 menit, tetapi saya telah mendapatkan pelajaran hidup yang luar biasa dari panjenengan, saya sangat jarang menemukan seseorang yang sangat tegar sekuat panjenengan, Sungguh........saya tidak bisa membayangkan jika semua yang anda alami sekarang menimpa saya, belum tentu saya kuat seperti panjenengan.........”
Saya lihat satu bulir air mata menetes dan dia usap dengan tissue didepannya.

Ungaran, Oktober 2009

Ucapan bela sungkawa kami haturkan kepada Bapak Hari Purwanto, semoga Arwah istri diterima Allah SWT, saya yakin bapak dan keluarga tabah dan ikhlas menghadapi ini semua, salam dari kami sekeluarga, amin.

Ttd.
Wasit Abu Ali

Don't give up, my wife and my sons

“ Syukuri apa yang ada,
hidup adalah anugrah,
tetap jalani hidup ini,
dan lakukan yang terbaik,
jangan menyerah...........” (D'Masiv)


Tulisan ini saya persembahkan untuk istri dan kedua anakku, wujud ungkapan sayangku kepada kalian, belahan jiwaku.
Kisah intan dan pasir, menjadi satu topik wajib ketika saya harus memberikan orientasi kepada karyawan baru di lingkungan tempat saya bekerja. Kisah ini pasti saya selipkan sebagai bahan motivasi bagi mereka. Dan sesungguhnya siapa saja, termasuk anda, keluarga kita, juga saya, adalah batu besar yang sedang mengalami proses, apakah akan menjadi pasir atau intan yang bernilai tinggi.
Bayangkan bahwa dalam hidup ini kita sebagai sebuah batu cadas yang sangat keras, setiap hari, setiap menit, setiap detik, terbentur bahkan sering dibenturkan oleh keadaan, dari berbagai arah, kanan, kiri, atas, bawah, terus....terus dan terus berlangsung.
Batu cadas itu dihantam oleh palu godam yang sangat berat dan besar dari arah atas.
Batu cadas itu, dari arah samping kiri, tertubruk dengan sekeras-kerasnya oleh Bumper Kereta Api.
Batu cadas itu, dari sisi kanan, sekonyong-konyong sebuah dump truck muatan pasir tambang, menabrak dengat sangat hebat................................
Di belakangnya, trotoar beton berdiri dengan tegapnya seakan berbicara, jangan coba-coba dekati aku.
Kemudian sekarang sedang menggelinding dengan gemuruh dari arah depan, jatuh sebuah bongkahan batu besar tepat dihadapan kita.
Dibawah kita, tepat kita berdiri, tempat pijakan kedua kaki kita, aspal hitam keras setelah terkena terik matahari.
Duhai, istri dan anak-anakku............
Jika itu semua terjadi, ada dua hal yang pasti, apakah batu besar itu akan menjadi kerikil dan pasir yang hancur berkeping-keping........atau jika terus bertahan, bertahan dan bertahan...maka kita akan menjadi intan yang bernilai tinggi.
Memang, bertahan tidak mesti hanya berdiam diri, bertahan adalah perjuangan, bergerak, dinamis, bukankah kata Ali bin Abi Thalib, sahabat Rosul, bahwa bergeraklah karena jika kita tidak bergerak berarti kita telah mati.
Wallahu a'lam bi showab

Dekadensi Moral Remaja era Globalisasi

(Bagai gunung karang di tengah lautan)

Masih sangat jelas dalam ingatan kita yang pernah menonton tragedi tenggelamnya Kapal mewah Titanic. Meski dengan peralatan modern pada masanya, tetapi radar tidak mampu memastikan bahaya yang ada di hadapan mereka. Kapal super mewah itu menabrak gunung karang, yang kelihatan setitik di radar. Menyembul sedikit seperti gundukan pasir, akan tetapi dibawah air, gundukan tersebut melebar, membentuk gunung, yang semakin ke bawah semakin besar.
Fenomena ini, juga terjadi dihadapan kita, bahkan tidak menutup kemungkinan adik-adik anda, dan semoga tidak terjadi kepada anak-anak kita. Yakni dekadensi moral yang sangat vulgar dewasa ini.
Berawal dari suatu senin pagi, masuk ke ruang kerja saya, seorang staf di bagian produksi. Dia bercerita mengenai banyaknya gejala JAMUR MERAH yang tumbuh di leher para karyawan wanitanya. Saya dengan serius menanyakan apakah mereka sudah diobati? Khawatir nanti menular kepada yang lain dan produktifitas kerja terganggu. Dia tidak menjawab, hanya senyum tersungging. Saya penasaran, dengan menawarkan beberapa merk obat jamur yang saya ketahui manjur dan berkualitas bagus.
“Aduh...Pak, bapak kurang gaul saja”
Saya tambah semakin penasaran,
“Bapak..., anak muda sekarang kebanyakan sudah tidak memiliki urat malu lagi. Bahkan mereka dengan bangga dengan melakukan cara-cara yang pada zaman saya dulu hal tersebut sangat tidak lazim, contohnya yaitu tadi, tumbuh suburnya jamur merah karena digigit/tergigit oleh laki-laki........”
“Oala... bu...........”
Gerusan industrialisasi berbasis kapitalisme dan gencarnya globalisasi melalui berbagai media, seperti TV, Internet menjadikan semuanya bebas, terbuka tanpa batas. Budaya negatif ditelan mentah-mentah begitu saja tanpa melihat dan mempertimbangkan efek yang bakalan timbul di kemudian hari.
Terus bagaimana?
Sekali lagi, benteng keimanan dari diri sendiri, perhatian orangtua, dengan siapa mereka berteman, adalah salah satu kunci untuk menjaga gempuran-gempuran budaya negatif yang datang dari segala penjuru.
Wassalam.

Berkaca pada Sayyidina Umar Ibnu Khattab

(Buat para pemimpin di Negeri ini)

Riwayat keteladanan beliau siapapun mengakuinya, salah satu yang paling fenomenal adalah tatkala beliau melakukan “Sidak Malam” untuk melihat kondisi rakyatnya.
Sebagai seorang Presiden dan Pemimpin tertinggi ummat islam pada masa itu, kegiatan Sidak ini beliau lakukan tanpa sepengetahuan ajudannya. Suatu saat ketika beliau Sidak malam, beliau berhenti di depan sebuah rumah yang di dalamnya terdengar gaduh oleh suara tangisan beberapa anak-anak yang minta makan malam dan terdengar suara kiranya seorang ibu sedang masak sesuatu di dapurnya.

Sayyidina Umar mendekat ke rumah itu dan mengintip gerangan apa yang terjadi karena suara tangisan anak-anak mereka cukup lama tidak terhenti. Dilihatnya oleh beliau seorang Ibu sedang memasak sesuatu tetapi cukup lama tidak matang juga sampai anak-anaknya ketiduran karena kecapekan.

Malam berikutnya, beliau mendatangi rumah itu lagi, dan lagi-lagi kejadian yang sama terulang. Suara tangisan anak-anak karena kelaparan semakin membuat sang Pemimpin Negeri itu penasaran hingga beliau memberanikan diri untuk menanyakan kepada si empunya rumah.

Beliau mengetuk pintu rumah dan mengucap salam kepada keluarga tersebut, pintu terbuka dan dari dalam rumah muncul seorang ibu yang terlihat sangat gusar.
“Wa'alaikum salam, ada apa gerangan, anak muda” sapa Ibu pemilik rumah tersebut sedikit bernada tinggi.
Sayyidina Umar menanyakan apa yang terjadi sehingga anak-anak Ibu tersebut menangis terus menerus. Kemudian Si Ibu tadi berkata dengan menyiratkan nada kekesalan, “wahai anak muda, tahukah kamu, kenapa anak-anakku menangis seperti itu?, ini semua karena ketidakbecusan Ummar Bin Khattab memimpin negeri ini”. Kiranya Si Ibu tidak tahu bahwa yang diajak bicara malam itu adalah Umar Bin Khatab, Khalifah paling tegas sepanjang sejarah kekhalifahan.
Lalu Si Ibu melanjutkan, “ wahai anak muda, tahukah kamu bahwa Setiap pemimpin akan dimintakan pertanggungjawaban di hadapan Allah kelak, Umar Bin Khattab harus bertanggung jawab atas semua ini, suamiku meninggal dalam medan pertempuran membela pasukan dia, tapi apa balasan dia kepada kami. Bahkan saya harus memasak batu untuk mengelabui anak-anakku agar mereka mengira saya memasak makanan bahkan akhirnya sampai mereka tertidur, saking capeknya menunggu kebohongan saya.............”

Si Ibu terus mengumpat-umpat, saking tidak kuatnya mendapat tamparan mental seperti itu, beliau mohon diri dan berjanji kepada Si Ibu itu untuk menyampaikan hal ini ke sang Khalifah. Secepat kilat Ummar Bin Khattab berlari seribu menuju Gudang gandum kerajaan, dipanggulnya sendiri satu karung penuh gandum dan dibawa ke rumah Si Ibu itu.

Diketuknya pintu rumah tersebut, sekonyong-konyong Si Ibu sangat kaget, ketika Ummar Bin Khattab membawakan sekarung gandum dan menyampaikan pesan permintaan maaf dari Khalifah. Seakan tidak percaya dengan siapa yang ada dihadapannya, Si Ibu terus menatap wajah yang sangat dikenal oleh semua orang, yang tidak lain orang dihadapannya adalah Khalifah Ummar sendiri. Si Ibu lemas terjatuh bersujud dihadapan Ummar Bin Khattab sambil menangis minta maaf atas kesalahdugaan selama ini.

Tulisan ini saya tulis atas ketimpangan yang terjadi saat ini, dimana pemimpin bangsa ini dari level yang terendah sampai presiden. Masih sangat jauh dari model kepemimpinan yang sesungguhnya, dimana mestinya mereka para pemimpin adalah pengayom dan pengabdi tetapi kenyataanya sebaliknya.
Salah satu contoh adalah kejadian tadi malam, saat salah seorang tokoh di daerah saya menjadi Anggota legislatif mengadakan halal bi halal dan syukuran. Tamu undangan yang terdiri dari pejabat di wilayah Kabupaten, para Anggota Legislatif, Pengurus partai, dengan tanpa rasa malu lagi meninggalkan tempat setelah menyantap hidangan dan makan prasmanan, sementara pengunjung lainnya harus antre nasi kotak, yang lebih membuat sakit hati dan kecewa peserta halal bi halal yang tak lain adalah simpatisan dan audien mereka. Adalah saat menginjak acara inti yakni mau'idlotul khasanah dari seorang Kyai kharismatik, baru saja sang Kyai mengucap salam, sampai diam tertegun cukup lama melihat polah mereka yang tanpa rasa dan urat malu meninggalkan acara, dengan santainya mereka berjalan meninggalkan pertemuan itu, bahkan tanpa berpamitan kepada pembicara inti, sang kyai kharismatikpun dikentuti.

Apalah Arti sebuah nama?

Tidak sedikit rekan-rekan karyawan di tempat saya bekerja yang anak-anaknya lahir di bulan Ramadhan ini meminta kepada saya untuk mencarikan nama yang sesuai untuk anak-anak mereka, Mereka mendatangi ruang kerja saya atau menelpon untuk keperluan ini, bukan bermaksud bergaya seperti seorang dukun, tetapi saya pasti tanyakan beberapa hal seperti, kapan lahirnya, laki-laki atau perempuan, siang atau malam, jam berapa, harapan kepada si anak kalau sudah besar bagaimana?

Ada salah satu hadits Nabi yang mengatakan bahwa salah satu kewajiban Orangtua kepada anaknya adalah memberikan nama yang baik. Setelah beberapa hal saya tanyakan diatas kemudian saya lakukan perenungan dan pemikiran dibarengi dengan kompilasi nama-nama yang sesuai. Tidak hanya satu nama, beberapa kombinasi nama saya tawarkan, setelah itu terserah kepada mereka apakah nama-nama itu dipakai atau tidak, saya tidak narik bayaran.

Meski pemberian nama sekarang ini trendnya adalah dengan menge-paskan kejadian atau kondisi yang ada pada saat anak dilahirkan, misal, karena lahir di bulan ramadhan dus si anak di beri nama Ramadani, dan seterusnya. Akan tetapi ada yang takut dengan memberikan nama yang cenderung berbau islam, takut dikira teroris.

“Temannya Noordin M Top”
Patut disayangkan bahwa sudah menjadi salah kaprah menyangkutpautkan oknum teroris tertentu dan menggeneralisirnya. Meski dengan gaya guyonan (joke), semisal jika memiliki nama ke arab-araban, sering disangkutpautkan dengan nama-nama teroris, misal “ wah...temennya Nurdin M Top” atau “kirain si A teroris”. Sehingga hal ini akan menjadi preseden yang kurang baik karena mendiskreditkan orang yang memiliki nama-nama berbau keislaman.

Ada cerita nyata, ponakan saya yang di jogja minta kepada orangtuanya untuk mengganti namanya yang sangat kental islam menjadi nama yang lebih nasionalis, hal ini karena temen-temennya sering meledek temennya Teroris, juga berkenaan dengan informasi yang dia terima jika mau keluar negeri (AS misalnya), untuk orang-orang yang memiliki nama-nama islam cukup kesulitan dalam pengurusan surat-surat keimigrasian.
So, dalam hal ini dimana pepatah kuno yang menyatakan bahwa “apalah arti sebuah nama?” sudah tidak berlaku laku. Lalu?

Nama adalah doa
Pada umumnya, pemberian nama dimata orang tua adalah sebuah pengharapan kelak semoga anaknya menjadi seperti yang diharapkan sesuai namanya. Sehingga tidak salah jika nama adalah pengharapan atau doa, dimana setiap kali menyebut nama anaknya, disitu terkandung makna sesuai arti dari nama yang diberikan. Kesimpulannya, berilah nama kepada anak-anak kita nama yang baik dengan mengucapkan setiap hari, dengan panggilan tulus, kita berdoa semoga menjadi anak sesuai harapan kita, amin
Wallahu a'lam bishowab.

Ditulis oleh Wasit Abu Ali

Jumat, 02 Oktober 2009

WASIAT TENTANG HARTA KARUN

WASIAT TENTANG HARTA KARUN
Saat itu Hajah Sujinah berusia 11-12 tahun, diminta

Kakekku seorang pejuang

OPEL CAPITAIN Th 1958
Mobil antik itu masih terawat dengan sangat baik, meski usianya sudah setengah abad lebih. Menurut Ibu kami, dulu sewaktu beliau masih hidup, beliau bilang kalau mobil tersebut adalah hadiah ulang tahun pernikahannya dari mbah kakung kami, salah seorang tuan tanah di kota kecil Pemalang.
Banyak cerita yang mengiringi perjalanan mobil tersebut, mobil dengan body khas keluaran jadul, moncong seperti hidung besar karena mesin ber-CC besar, lekukan-lekukan body yang seksi nan molek di setiap sudutnya membuat mobil itu terlihat sangat anggun dan mewah. Dengan interior yang cukup mewah pada masanya, semua jok kursi terbuat dari bahan kulit bermutu tinggi.
Photo hitam putih hasil cropingan berfigura kuningan, masih kami pasang di ruang besar rumah peninggalan keluarga kami, meski mobil tersebut hadiah ulang tahun untuk ibu kami, tetapi kesehariannya dulu mbah kakung kami yang sering pakai. Di dalam photo tersebut nampak mbah kakung, yang memang berperawakan tinggi besar, kelihatan sangat gagah dengan sarung kotak-kotak, Jas Kuning Gading dan Peci kebesaranya.
Ada satu cerita mengenai mobil antik ini, tatkala seorang Bupati pada saat , berkunjung ke desa kami untuk meresmikan Masjid Jami di desa kami, rombongan datang dengan mobil Datsun, kiranya lihat mobil mewah dari Eropa, mereka penasaran ingin mencoba, sang Bupati masuk ke kabin stir dan mulai mestarter dan lagi dan lagi tetapi tidak menyala juga, baru setelah mbah kakung menyalakan satu kali saja, mesin langsung on. Terus ketika mobil masih menyala dan Pak bupati masuk ke kabin lagi untuk mencoba mengemudikan, mesin mobil langsung mati, terus berulang-ulang.
Memang, Ibu kami pernah bilang kalau Mobil tersebut seperti punya nyawa, tidak sembarang orang bisa pakai dan katanya lagi, dijaga oleh Qodamnya mbah kami, entahlah.
Sedan Opel Capitain itu, saksi bisu sejarah kesuksesan sang juragan tanah, yang tak lain adalah mbah kami. Meski seorang saudagar kaya pada jamannya, tetapi sifat sosialnya diakui semua orang pada masa itu. Hanya saja ada satu sifat yang menurut banyak orang adalah senang makan enak Menurut Ibu kami, setiap kali makan, baik ketika sarapan pagi, makan siang maupun makan malam. Menu harus baru, tidak boleh ada sisa makanan waktu sebelumnya yang dihangatkan apalagi tidak dihangatkan. Meja makan besar yang terbuat dari jati tua berukuran 2 X 3.5 meter, setiap jam makan tiba selalu penuh dengan berbagai macam jenis hidangan, dari masakan berporsi besar masakan daging Kerbau, Satu ingkung bakar, Satu porsi telur pecak sambel, Seporsi sotong kuah hitam kental, bermacam-macam ikan darat seperti wader dari Sungai comal dan ikan “dheleg” goreng garing, sampai 3-4 jenis sayuran pendukung.
Mbah kakung, jika sedang makan tidak bersedia ditemani siapapun termasuk anak-anak dan istri-istrinya. Baru setelah mbah kakung selesai dhahar, giliran anak-anak dan istri-istrinya makan bersama. Pola makan seperti ini, disinyalir yang menjadikan banyak penyakit bersarang di tubuh mbah kakung, tetapi semua anak dan istri-istrinya tidak ada yang berani ataupun mungkin belum mengerti nilai kesehatan berhubungan dengan pola makan.
Pola makan semacam ini berlangsung cukup lama, sampai pada suatu ketika segalanya runtuh, dan hancur berantakan.
Mbah kami dikenal sebagai saudagar tanah sekaligus petani dan pedagang sukses, karena pandai membaca alam, kapan waktu harus mulai tanam, bagaimana membuat bibit padi unggulan, cara meramu obat pembasmi hama, kapan harus dipanen dan yang lebih hebat adalah kapan gabah tersebut harus dijual dan kemana daerah yang harga gabah masih tinggi.
Ada kisah mengenai cara merawat tanaman padi sehingga tidak diserang hama tikus, meski teman-teman saudagar tanah di daerah lain mencoba hal yang sama tetapi mereka tidak berhasil. Cara ini sangat efektif karena tidak ada satupun tikus yang berani mendekat. Kelihatannya tidak berperikehewanan karena harus mengumpulkan darah tikus secukupnya, kemudian darah yang sudah dikasih mantra tertentu dicipratkan di pojok-pojok pematang sawah. Hasilnya, tidak ada tikus yang berani mendekat.
Gabah-gabah kering disimpan di Gudang-gudang, sistem pemetikan padi saat itu, adalah dipetik dengan alat yang disebut ani-ani, padi yang dipetik sekalian gagangnya kemudian disatukan dan diikat dengan “welad” dari bambu dan digantungkan di bambu-bambu yang sudah di pasang sejajar di dalam gudang-gudang. Cara ini diyakini dapat bertahan lebih lama dibandingkan dengan padi yang dirontokkan dengan di gepyok (dilepas dari gagangnya). Hanya saja, dari segi efisiensi jauh lebih efisien dengan dirontokkan.
Dari hasil pengelolaan yang sistematis ini, didukung oleh petani-petani penggarap yang loyal. Sawah dan tanah beliau berkembang sangat cepat dan bertambah luas. Estimasi luas penguasaan sawah produktif lebih dari 350 Hektar, luas yang sangat menakjubkan. Oh ya, Sawah produktif kalau di daerah kami di bagi kedalam kriteria, lak Primer , maksudnya adalah pengairan bersumber dari Sungai utama yakni Sungai Comal, padahal Sungai ini dalam sejarah belum pernah kering sepanjang masa, kemudian lak Sekunder, Sawah di area ini nilai jualnya agak rendah dibandingkan Lak Comal, karena pengairan dari saluran ini merupakan cabang aliran dari Sungai Comal. Tentunya dengan sawah seluas itu, sangat repot dalam pengelolaannya, sehingga beliau mempercayakan beberapa orang untuk dijadikan mandor.
Tahun berdarah-darah
Tahun 1968 adalah tahun dimana nasib sebagian petani pemilik sawah yang mana telah berjuang sekuat tenaga, dengan keringat bercucuran, memeras otak bahkan mungkin harus bermandikan darah, tahun itu tahun ketidakberpihakan Pemerintah terhadap rakyatnya sendiri. Tahun kehancuran petani-petani pribumi, yang dengan sudah payah bekerja tetapi telah dikebiri oleh Pemerintah. Peraturan Perundangan yang mengatur batas kepemilikan sawah maksimal sejumlah 25 Hektar, menjadikan petani pemilik sawah di atas jumlah 25 Hektar merasa syok, stres, dan tidak tahu harus bagaimana.
Sehingga tidak sedikit yang pasrah menerima nasib ini. Termasuk mbah kami, meski syok dan stres, tetapi beliau berusaha tegar, dengan mulai menginventarisir semua kekayaannya (sawah) kemudian akan diatasnamakan ke anak-anaknya dan orang kepercayaannya. Namun nasib berkata lain, belum selesai proses inventarisasi ini, beliau keburu dipanggil Yang Maha Hidup, dengan meninggalkan kesemrawutan proses itu, sehingga belum sempat diatasnamakan kepada anak-anaknya, Sawah-sawah sebanyak itu dibuat sebagai “bancakan” oleh orang-orang yang dulu dipercaya untuk mengelola dan adik-adiknya. Mereka menikmati hasil garapan atau sewa tanpa bisa mengelola lagi, mereka hidup berfoya-foya dengan menjual sawah, sehingga dengan cepat sawah-sawah hasil “rampokan” terjual habis dengan sia-sia.
Mereka, meskipun ada beberapa adik kandung dari mbah kakung kami, tetapi kami melihat mereka adalah para perampok dan pemakan harta anak yatim, sehingga Allah harus menurunkan adzabnya. Bagaimanapun, semua sudah terjadi, Semoga Allah mengampuni dosa-dosa orang-orang yang bertaubat.
Sekarang, mobil Opel Capitain ini masih sering kami gunakan meski hanya sekadar untuk bernostalgia. Tidak ada rencana untuk dijual meski tidak sedikit yang menawar dengan harga cukup tinggi
Pemalang, Ramadhan 1430H
Oleh Wasit Abu Ali

Mengenang Ibunda

“Korban TRIS”
Popor senjata laras panjang milik oknum tentara itu mengenai wajah Hajah Hindun hingga membuat lebam hitam membekas di pelipis sebelah mata kirinya. Hajah Hindun, seorang Ibu perkasa, yang telah membesarkan kesepuluh anak-anaknya tanpa pendamping hidup sepeninggal Suaminya tatkala semua anak-anaknya masih perlu bimbingan, karena sebagian anak-anaknya masih menyelesaikan kuliahnya dan sebagian lagi masih di bangku Sekolah Menengah.
Hajah Hindun berdiri dengan mata menatap nanar seperti menahan seribu amarah dan menahan sejuta emosi, Dia tegak bersikap bagai seorang pahlawan perang yang berani mati mempertaruhkan nyawa demi mempertahankan Negara atau keyakinannya. Dengan lantang dan tegas, menolak untuk menandatangani kesediaan teken kontrak menyewakan sawah produktifnya oleh pabrik tebu dalam program TRIS (Tebu rakyat intensifikasi) di masa Orde Baru.
Semua petani pemilik lahan yang hadir pada terperangah dengan keberanian menolak menjalankan program pemerintah pada waktu itu, dimana apapun jika tidak sepaham dengan penguasa maka akibatnya “diciduk”. Beberapa oknum tentara dengan wajah dibuat sangar awalnya mau menghampiri Hajah Hindun pada saat itu, mereka pikir, ada slilit atau duri yang harus disingkirkan, tiba-tiba ada salah seorang pejabat pemerintah ditingkat kecamatan yang melerai kejadian itu, hajah Hindun dibawa masuk ke suatu ruang khusus diikuti oleh beberapa Tentara berlaras panjang. Semua orang yang hadir di kantor kecamatan itu sempat terjadi keributan kecil tapi dapat diredam oleh tentara yang lainnya, pikir mereka, kasihan.... habislah perempuan tua ini.
Di dalam ruang khusus, Hajah Hindun didudukkan di sebuah kursi seperti laiknya seorang pesakitan, menghadap beberapa pejabat pemerintah yang memaksakan kehendaknya agar sawah milik Hajah Hindun bisa ditanami tebu sesuai program Pemerintah-TRIS. Di tempat itu, meskipun dengan derai airmata, hajah Hindun berbicara dengan lugas dan mantap bahwa semua ini dia lakukan, yakni bukan bermaksud tidak mau mengikuti program pemerintah, maupun bukan berrati tidak bersedia menghormati bapak-bapak pejabat, atau bermaksud memprovokasi orang-orang agar mengikuti kehendak Dia.
Masih dengan bercucuran air mata yang diusap dengan kerudungnya, Hajah Hindun bercerita banyak bahwa Almarhum suaminya berpesan, agar bagaimanapun, anak-anaknya harus mengenyam pendidikan setinggi mungkin dengan cara apapun yang penting halal. Hajah Hindun ingin anak-anaknya seperti halnya anak-anak pejabat maupun bapak-bapak tentara yang bisa bersekolah sebaik mungkin and setinggi mungkin. Sawah-sawah itu adalah satu-satunya sumber penghasilan keluarga Hajah Hindun sehingga jika harus ditanami tebu yang kontraknya bertahun-tahun dan hasilnya belum tentu bagus, maka penghasilan harian, mingguan, bulanan maupun tahunan tidak ada lagi. Penghasilan harian adalah jika sawah itu ditanami sayur-mayur maka dapat dipetik harian, ataupun secara mingguan dengan ditanami pohon pisang yang dapat diunduh secara berkala, maupun bulanan dengan ditanami padi atau jagung atau palawija yang lain.
Akhirnya dengan segala daya upaya, dan argumentasi yang menyentuh hati pejabat pemerintah saat itu, akhirnya mereka luluh, dengan syarat bahwa hajah Hindun tidak boleh bicara kepada siapapun, kalau khusus sawah-sawahnya tidak akan di tanamai tebu-TRIS. “Maha besar Engkau ya Allah”, demikian hajah Hindun panjatkan puji syukur dengan sangat terharu sambil sujud syukur di hadapan mereka.
Kisah ini, untuk mengenang setahun kepergian Beliau yang telah membesarkan ke sepuluh putra-putrinya sehingga dapat meraih pendidikan tingginya dan menapaki hidupnya masing-masing. Saya tulis ini sebagai ungkapan kebanggan kepada beliau yang telah bersusah payah mempertahankan Haknya demi pendidikan anak-anaknya.
Sungguh, saya tulis kisah ini dengan linangan airmata kerinduan akan jasa-jasa beliau yang sangat besar, semoga beliau hidup tenang di alam sana bersama dengan Al hafidz H. Ahmad Ruslani-Alm, suami tercinta.
Hajah Hindun atau nama lainnya Hajah Sujinah adalah Ibunda kami, seorang perempuan yang telah dengan setia mengabdi kepada suaminya sampai akhir hayatnya.
Ungaran, Ramadhan 1430H

catatan kerinduan

bersambung

Follower

Tentang saya

Foto saya
Ungaran, Kabupaten Semarang, Indonesia

Foto Produk

Foto Produk
produk lainnya: Bantal Dacron

Cari Blog Ini